Aksi bela Palestina, antara solidaritas kemanusiaan dan politik identitas

Aksi bela Palestina, antara solidaritas kemanusiaan dan politik identitas
Palestina Hak atas foto Ed Wray/Getty Images Image caption Dalam dua pekan terakhir, ribuan orang sudah dua kali berkumpul di pusat ibu kota Jakarta untuk menyuarakan kecaman atas Amerika Serikat terkait Yerusalem.

Belasan ribu orang berkumpul di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (17/12), mendesak Amerika Serikat membatalkan pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Aksi umat Muslim Indonesia -yang diprakarsai Majelis Ulama Indonesia (MUI)- itu diklaim didorong solidaritas, meski diwarnai juga dengan sorakan dan umpatan pada pejabat pemerintah.

Para petinggi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI turut hadir dan berpidato, termasuk pimpinan Front Pembela Islam, Rizieq Shihab, melalui telepon dari tempat pelariannya setelah dicari polisi terkait kasus dugaan penyebaran konten pornografi.

GNPF MUI berulang kali berunjuk rasa menentang Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan mobilisasi massa terakhir yang mereka gelar adalah Reuni Alumni 212 pada awal Desember.

Kali ini, walaupun bertajuk solidaritas untuk Palestina, nuansa politik dalam negeri tampak dalam aksi tersebut, antara lain lewat sorak-sorai ejekan kepada Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, saat memaparkan hasil keikutsertaan Presiden Joko Widodo pada pertemuan KTT Luar Biasa Organisasi Konferensi Islam, OKI, di Turki, pekan lalu.

"Sudah turun, nanti capek, Pak. Dukung LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) saja," kata beberapa orang dari massa. "Huu... Suruh pulang saja, ngapain di sini," teriak kelompok lainnya.

Selain Lukman, unjuk rasa juga dihadiri Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, serta dua pimpinan DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah.

Sementara Ketua MUI, Ma'ruf Amin, yang juga datang dalam acara itu mengajak massa untuk memboikot AS jika tidak mencabut pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

"Saya tanya, Kalau Donald Trump tidak mau juga mencabut bagaimana? Boikot?" tanya Ma'ruf pada massa. "Boikot Amerika," jawab ribuan orang yang ada di Monas itu.

Hak atas foto DETIKCOM Image caption Jimly Asshiddiqie menyebut solidaritas untuk Palestina harus ditunjukkan beragam elemen masyarakat agar isu itu tidak dimonopoli kelompok tertentu.

Bagaimanapun Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Jimly Asshiddiqie, menyebut 'Aksi Bela Palestina' tidak dapat dilepaskan dari populisme Islam yang muncul sejak Pilkada DKI.

"Alumni 212 seakan mempelihara momentum. Sekarang mereka juga memanfaatkan isu Palestina," kata Jimly kepada BBC Indonesia.

Menurut Jimly, isu Yerusalem-Palestina berpotensi diarahkan untuk kepentingan politik dalam negeri namun pada saat bersamaan dia sebenarnya mengharapkan agar isu Palestina tetap disuarakan dalam konteks kemanusiaan dan kebangsaan.

"Ini saat yang tepat untuk melenturkan ketegangan akibat political divide (perpecahan politik), asalkan ditopang seluruh elemen bangsa," kata Jimly.

Mengapa ada aliansi rahasia Arab Saudi dan Israel? Donald Trump: Yerusalem adalah ibu kota Israel Yerusalem: Kota di mana Muslim dan Kristen Palestina menentang Israel

Mengklaim tak sependapat dengan 'politik primordial' GNPF MUI, Jimly mengaskan bahwa dia datang ke 'Aksi Bela Palestina' dengan tujuan agar isu itu tak dimonopoli oleh kelompok tertentu.

"Pilkada 2018 dan pilpres 2019 bisa saja membelah Indonesia menjadi dua kubu lagi, jika isu agama, Islam dan non-Islam kembali digunakan. Isu Palestina ini bisa menjadi penegah," ujarnya.

Hak atas foto ED WRAY/GETTY IMAGES Image caption Sebelum 'Aksi Bela Islam', Monas telah berulang kali menjadi lokasi mobilisasi massa yang digagas GNPF MUI.

Sebelum aksi di Monas ini, para tokoh lintas iman yang mewakili organisasi keagamaan sudah berkumpul pada Jumat (15/06) di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta untuk mengeluarkan kecaman bersama kepada AS terkait pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr Ignatius Suharyo, menyebut umat Katolik secara kolektif selalu mendoakan penyelesaian terbaik isu Israel-Palestina dengan menegaskan persoalan Palestina merupakan isu kemanusiaan dan bukan agama.

"Orang Katolik tentu ikut dengan sikap yang dipikirkan, dikatakan, dan dinyatakan oleh Paus Fransiskus. Paus mengakui negara Palestina secara eksplisit," kata Suharyo.

Sementara pada 7 Desember lalu, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Pendeta Henriette Tabita Lebang mendorong penyelesaian damai dalam isu Palestina menanggapi keputusan kontroversial Trump.

"Pengakuan ini akan memicu eskalasi konflik, baik di Timur Tengah maupun di negara-negara lain," kata Henriette dalam keterangan tertulis.

Sedangkan Perwakilan Umat Budha Indonesia, Perisada Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis Tinggi agama Khonghucu Indonesia juga menyatakan hal serupa.

Hak atas foto ED WRAY/GETTY IMAGES Image caption Seruan menentang AS, termasuk produk konsumsi yang berasal dari negara itu, diutarakan sejumlah pejabat negara dan petinggi MUI.

Meski sebagian besar kelompok menyebut isu Palestina bukan persoalan keagamaan, Jimly justru mendorong pemerintah Indonesia memprakarsai konferensi internasional yang melibatkan para tokoh lintas agama: Yahudi, Protestan dan Katolik, serta Islam.

Melalui konferensi itu, menurut Jimly, pemerintah Indonesia dapat bersumbangsih nyata bagi Palestina di luar jalur diplomasi.

"Indonesia harus ambil inisiatif. Penyelesaiannya tidak bisa politik saja tapi juga agama karena Palestina punya sejarah keagamaan," kata Jimly.

Hak atas foto Getty Images Image caption Dalam pertemuan di Turki, negara-negara anggota OKI mendesak dunia untuk menyatakan Yerusalem sebagai ibukota Palestina.

Rabu lalu, KTT Luar Biasa OKI di Turki -yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo- mengecam keputusan AS soal Yerusalem dan mendesak agar dunia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina.

Bagaimanapun beberapa negara penting di kawasan Timur Tengah -seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir- tidak mengirimkan pemimpinnya ke KTT di Istanbul tersebut.

Meski dikecam oleh banyak negara dan sejumlah aksi unjuk rasa marak di berbagai tempat, pemerintah Amerika Serikat tetap tidak bergeming dan banyak pihak yang menanti kunjungan Wakil Presiden AS, Mike Pence, ke Timur Tengah, termasuk Israel.

Kunjungan itu -yang sudah direncanakan beberapa waktu lalu- tampaknya kini dilihat sebagai 'berwajah satu sisi' saja setelah Presiden Donald Trump menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Sementara itu Dewan Keamanan Perserikatan-Bangsa dilaporkan akan menerbitkan resolusi yang menyatakan perubahan status Yerusalem secara sepihak adalah ilegal, namun AS memiliki hak veto untuk membatalkan kesepakatan 14 anggota DK PBB lainnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.