Benarkah warga Indonesia punya 'kesenjangan empati' soal Papua?

Benarkah warga Indonesia punya 'kesenjangan empati' soal Papua?
Bencana kelaparan atau gizi buruk dan penyakit lainnya besar kemungkinan terjadi di wilayah lain di Papua. Hak atas foto BAY ISMOYO/AFP/GETTY IMAGES Image caption Bencana kelaparan atau gizi buruk dan penyakit lainnya besar kemungkinan terjadi di wilayah lain di Papua.

Cuitan dari komika Arie Kriting yang mengungkapkan rasa frustrasinya akan perhatian terhadap krisis kesehatan di Agats, Papua -yang dianggapnya kurang tanggap di media sosial- menjadi viral.

Menurutnya, ada 'kesenjangan empati' dari warganet terkait wabah campak dan kelaparan yang terjadi di Agats dengan pengumpulan dana untuk isu-isu lain yang dianggap lebih dekat.

Dalam cuitannya, Arie membandingkan pengumpulan dana untuk krisis kesehatan di Agats dengan pengumpulan dana saat warteg milik seorang ibu, Saeni, yang dirazia oleh Satpol PP pada di Kota Serang, Banten, pada bulan Ramadan, Juni 2016 lalu.

Cuitan Arie itu sudah disebar lebih dari 2.200 kali dan disukai lebih dari 900 kali.

"Ada sedikit keprihatinan dalam hati saya. Dan (krisis kesehatan) ini kan bukan yang pertama kalinya terjadi di Papua, sudah ketiga kalinya, dan (cuitan) ini bukan saya tujukan untuk pemerintah ya, sebenarnya untuk teman-teman kita sendiri, yang saya tahu sebenarnya dalam jiwanya ada solidaritas," kata Arie pada BBC Indonesia.

"Tapi kenapa kalau untuk Papua, solidaritas itu sulit untuk terpicu? Padahal menurut saya urgensinya jauh (lebih penting). Kalau soal kasus Ibu Saeni, korban jiwa pun tidak ada, ini kan 61 bayi,"

Panglima TNI klaim wabah campak 'berhasil diatasi,' Bupati Asmat menuding 'Jakarta hanya bicara uang' Lima hal yang perlu Anda ketahui tentang wabah campak dan gizi buruk di Asmat

Namun menurut Arie, setelah dia mencuitkan pernyataannya itu, "beberapa teman mulai membantu untuk penggalangan dana itu".

Setelah cuitannya, tambah Arie, dana yang datang menjadi lebih cepat menyentuh angka Rp100 juta sehingga dia kemudian menaikkan batasnya menjadi Rp150 juta.

Penggalangan dana yang dilakukan Arie di platform Kita Bisa kini sudah mencapai Rp174 juta lebih, namun menurutnya, pada minggu pertama penggalangan dana itu digelar, prosesnya "berat" karena hanya mencapai Rp30 juta-Rp40 juta.

Padahal, dalam pengumpulan dana untuk isu-isu berbeda, menurut Arie, minggu-minggu awal adalah justru saat antusiasme orang sedang tinggi-tingginya.

"Kalau misalnya 60 orang bayi itu adanya di Bekasi atau Tangerang, apakah akan seperti itu tanggapan orang-orang? Saya masih melihatnya ini sebagai ketimpangan pemahaman tentang masyarakat Indonesia timur dari pusat. Wacana yang dibangun di tanah Jawa berbeda dengan wacana di Indonesia timur ketika menanggapi kejadian-kejadian di luar Pulau Jawa."

"Kalau ini terjadi di Jawa pasti akan sangat berbeda, bagaimana masyarakat menyoroti pemerintah untuk tegas, bagaimana mereka menggalang dana, pasti akan sangat jauh berbeda," kata Arie lagi.

Krisis kesehatan di Asmat: ‘Saya minum air langsung dari sungai’ Pemerintah Indonesia mengaku kesulitan tangani wabah kelaparan di Asmat

Sentimen yang dirasakan Arie itu dibenarkan oleh dosen Ilmu Politik Universitas Cendrawasih, Marinus Yaung.

Menurutnya, "Kami berpandangan bahwa kami itu warga negara kelas dua di negara ini sehingga apa yang terjadi dengan isu kemanusiaan di Papua itu seperti itu bukan isu nasional. Itu isu daerah yang tidak perlu mendapat perhatian nasional, ini yang perlu kita selesaikan dengan pemerintah pusat."

Hak atas foto BAY ISMOYO/AFP/GETTY IMAGES Image caption Pembangunan infrastruktur memunculkan opini bahwa aktivitas itu merupakan cara untuk memperhatikan Papua, namun, menurut pengamat, ada pembangunan kemanusiaan yang belum terperhatikan.

"Kalau ini terus-menerus dibiarkan oleh pemerintah pusat, dengan memandang isu kemanusiaan di Papua hanya isu lokal, jangan salahkan kalau isu itu kemudian dipolitisasi oleh kelompok yang mau melepaskan diri dari Indonesia," kata Marinus lagi.

Marinus juga menyoroti bahwa pembangunan infrastruktur dan pemberian dana yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi memunculkan opini bahwa aktivitas itu merupakan cara untuk memperhatikan Papua, namun, menurutnya, ada pembangunan kemanusiaan yang belum terperhatikan, selain juga soal pendampingan untuk penggunaan dana yang diberikan.

Hak atas foto Kementerian Kesehatan RI Image caption Satu-satunya rumah sakit di Kabupaten Asmat yang disebut tidak layak oleh Menteri Kesehatan Nina Moeloek.

"Orang Papua tahu bahwa dia tidak bisa mengelola dana yang besar ini, seharusnya pemerintah melakukan pendampingan. Dan Asmat ini bagian dari puncak gunung es, ada 14 kabupaten lain di Papua yang terancam gizi buruk dan penyakit-penyakit lainnya," kata Marinus.

Sementara itu, peneliti LIPI soal Papua, Adriana Elisabeth, mengatakan bahwa dalam sebuah survey online yang diadakan oleh LIPI bersama dengan Change.org pada Desember 2017 lalu, "memang ada kesenjangan pemahaman tentang situasi di Papua."

"Itu logis juga, menurut saya, karena memang tidak banyak orang yang ke Papua, hanya tahu dari berita-berita. Apa yang terjadi di sini memang tidak bisa dilihat dari jauh kan, harus datang," kata Adriana.

Hak atas foto BAY ISMOYO/AFP/GETTY IMAGES

Meski begitu, Adriana punya pengalaman yang berbeda soal penggalangan dana dan solidaritas untuk isu-isu yang terkait dengan krisis kesehatan di Agats dan isu politik di Papua.

"Justru saya banyak mendapat imbauan dari media sosial cukup cepat, ada beberapa versi video dikirim, siapa yang mau memberikan sumbangan, misalnya. Di Jayapura, ada organisasi yang mencoba menggalang dana, dari sejak isu itu muncul sampai sekarang sudah terkumpul Rp160 juta. Mungkin karena itu yang dikelola di Indonesia timur sendiri ya," kata Adriana.

Dia menambahkan lagi bahwa isu solidaritas dengan Papua juga sudah sampai ke luar negeri, "Di Indonesia saja, sudah semakin kelihatan solidaritasnya untuk isu politik. Solidaritas di antara aktivis HAM, LSM yang ada di level nasional juga sudah cukup tinggi dengan gerakan politik lokal Papua."

"Kalau dibalik misalnya, ada persoalan kemiskinan di Jawa, itu masih ada, kadang kita juga tidak sadar kan? Tergantung bagaimana isu itu diluncurkan, dikemas, di-blow up, di-publish, sampai kemudian muncul kesadaran," ujar Adriana.

Gizi buruk dan campak, puluhan tewas di Papua: pemerintah lambat? Mengapa usulan Presiden Jokowi merekolasi warga Asmat 'mustahil' dilakukan?

Dia menilai bahwa pemberitaan soal krisis kesehatan di Asmat ini adalah awal dan harus ditindaklanjuti dengan lebih intens.

"Kasus Asmat ini bukan yang pertama, sejak 1980an terjadi kok. Bahkan yang lebih sedih lagi, banyak bayi-bayi, anak-anak Papua, meningggal dalam kesunyian. Tidak ada orang yang tahu, tidak ada pemerintah yang membantu, tidak ada media yang mempublikasikan."

"Jadi nggak bisa dibilang nggak ada solidaritas, menurut saya, itu sudah ada lama, tapi memang sampai sebatas ini dulu mungkin yang diketahui," jelas Adriana lagi.

Image caption Bencana kesehatan di Asmat, Papua, telah menewaskan 71 anak, sementara 800 orang perlu mendapat pengobatan khusus.

Sementara itu, Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengatakan akan mengirimkan tim relawan menuju Kabupaten Asmat, Papua, pada Minggu (04/02) mendatang. Selain mengirimkan bantuan pangan dan tim kesehatan, ACT juga menyiapkan dana Rp5 miliar untuk bantuan tahap awal.

Saat ditanya apakah pengumpulan dana untuk bantuan di Papua lebih sulit jika dibandingkan dengan pengumpulan dana untuk bencana atau isu-isu lain, Wakil Presiden Senior bidang Filantropi dan Komunikasi, Imam Akbari, mengatakan mereka menggunakan semua platform yang tersedia untuk mempromosikan penggalangan dana itu.

"Karena ini isu kemanusiaan yang universal, ada nasionalisme juga, semua kalangan harusnya tidak ada alasan untuk tidak terpanggil. Kita optimis ini jadi gerakan kepedulian yang bukan cuma sesaat," kata Imam pada BBC Indonesia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.