UU MD3 merupakan 'kriminalisasi' terhadap rakyat yang kritis pada DPR?

UU MD3 merupakan 'kriminalisasi' terhadap rakyat yang kritis pada DPR?
DPR Hak atas foto AFP

Rapat paripurna DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) pada Senin (12/2) sore.

Salah satu revisinya - yang dinilai kontroversial - adalah memberikan otoritas ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum ke pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR.

Revisi Pasal 122 terkait tugas MKD itu menuai kontroversi karena DPR dianggap menjadi antikritik dan kebal hukum.

"Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas mengambil langkah hukum dan/langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR"

Pasal 122 (k)

Namun Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, berkilah bahwa pasal itu bukan untuk membatasi masyarakat mengkritik kinerja DPR, namun untuk menjaga martabat DPR sebagai lembaga negara.

Lembaga legislasi, bukan penegak hukum

"DPR harus dikritik. Yang kita tidak mau kan soal jangan sampai ada yang membandingkan DPR itu dengan ucapan-ucapan yang tidak etis, tidak sepantasnya, yang merendahkan martabat," kata Supratman.

Sidang pengesahan revisi UU MD3 itu diwarnai oleh walkout-nya Partai Nasdem, yang meminta agar pengesahan ditunda. Partai PPP juga mengajukan punundaan.

Sekretaris Jenderal Nasdem, Jhonny G Plate, menjelaskan alasan partainya menolak pengesahan revisi UU MD3 itu karena dapat memberikan persepsi buruk ke publik.

"Kalau tidak dirumuskan dengan baik dia berpotensi digunakan secara salah. Baik oleh anggota DPR-nya maupun oleh persepsi publik," kata Jhonny.

"Anggota DPR yang melaksanakan tugasnya dengan benar pada saat menggunakan haknya, hak imunitasnya, nanti dituduh oleh publik: Anda tidak betul, Anda salah, Anda mengeksploitasi hak-hak yang diberikan pada Anda, untuk kebutuhan perorangan saja, padahal bukan itu tujuannya," tambah Jhonny.

Hak atas foto Getty Images Image caption Sidang pengesahan revisi UU MD3 itu diwarnai oleh walkout-nya Partai Nasdem.

Meski begitu, pengesahan UU MD3 ini menurut pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, tidak otomatis memberikan MKD kekuatan hukum. Penegakan hukum tetap dilakukan oleh polisi.

"Secara hukum sih, pasal seperti itu tidak diperlukan ya karena kita harus ingat DPR ini lembaga legislasi, bukan penegak hukum," kata Bivitri.

"Artinya kalau memang ada yang "menghina" DPR atau memberi kritik ke DPR, kalau DPR tidak suka, sebagaimana lembaga lain atau orang-orang lainnya, laporkan saja ke polisi, tidak perlu MKD. Kalaupun nanti MKD akan memanggil, mereka tidak bisa menjalankan fungsi itu karena bukan penegak hukum."

Bivitri menambahkan bahwa pasal yang seakan-akan menakut-nakuti masyarakat itu harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan nafas konstitusi yang melindungi warga untuk menyatakan pendapat.

Selain itu, revisi UU MD3 ini juga menambah jumlah pimpinan DPR menjadi satu orang ketua dan enam orang wakil ketua yang dipilih anggota MPR.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.