Penghulu bergaji Rp3 juta sebulan paling sering laporkan gratifikasi

Abdurrahman Bakri di depan kantornya di Trucuk, Klaten. Hak atas foto Fajar Sodiq/BBC Indonesia Image caption Abdurrahman Bakri di depan kantornya di Trucuk, Klaten.

Seorang penghulu bergaji Rp3 juta sebulan menjadi orang yang paling sering melaporkan gratifikasi. Sang penghulu, yang bernama Abdurrahman Muhammad Bakri, mengaku sering dipaksa oleh warga untuk menerima amplop berisi uang.

Abdurrahman, kini berdinas di Kantor Urusan Agama (KUA) Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, menempati urutan teratas sebagai pegawai negeri yang paling sering melaporkan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dari pertengahan 2015 hingga Maret 2018, Abdurrahman telah melaporkan 59 pemberian gratifikasi yang diterimanya selama bertugas menikahkan warga.

Pegawai negeri berusia pria 35 tahun ini mengaku kaget menerima penghargaan karena mengaku hanya ingin menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.

"Apa yang jadi kewajiban dilaksanakan dan yang dilarang tidak dikerjakan, salah satunya larangan menerima gratifikasi. Secara aturan memang tidak boleh menerima uang. Negara sudah memberikan gaji dan tunjangan," kata Abdurrahman yang biasa dipanggil Abdul, saat ditemui wartawan setempat, Fajar Sodiq, yang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Setya Novanto: Puan Maharani dan Pramono Anung 'terima US$500.000', PDIP membantah KPK: Ada kasus korupsi yang lebih besar dari KTP-Elektronik Pilkada 2018 akan 'penuh' dengan para calon tersangka koruptor?

Hampir semua warga yang mengundangnya jadi penghulu akan memberikan "amplop" sebagai "ucapan terima kasih".

Nilai gratifikasi per amplop mulai dari Rp25.000 sampai yang terbanyak Rp200.000. Dari total 59 kali pemberian gratifikasi yang dia laporkan, nilainya tidak sampai ratusan maupun puluhan juta, tapi Rp4,2 juta.

"Pemberian uang ini seperti simalakama. Diterima jadi masalah, tidak diterima juga masalah sama warga. Jadi saya sebagai petugas awalnya bingung, gimana ya?" katanya di kantornya di Trucuk, Klaten.

Abdul mengaku telah berusaha memberi pengertian kepada warga agar tidak memberikan uang tambahan karena biaya nikah sebesar Rp 600.000 yang dibayarkan warga yang langsung masuk ke kas negara itu sudah termasuk biaya transportasi dan jasa profesi.

Hak atas foto Fajar Sodiq/BBC Indonesia Image caption Abdul di ruang kerjanya.

Masalahnya, meskipun sudah ditolak, masih banyak warga yang sering memaksa Abdul menerima amplop.

Ada yang langsung memasukkan ke saku atau ke tasnya. Bahkan, pernah juga dia menemukan amplop terselip di kantong motor matic-nya. Ada pula yang tak mau melepas jabat tangannya sebelum amplop diterima dan sempat ada yang sampai datang ke kantor KUA di hari berikutnya karena Abdul menolak di lokasi.

"Saya lihat suasana juga, kalau ada khalayak ramai, mau tolak-tolakan kelihatan malah nggak bagus. Jadi saya terima saja baik-baik," kata Abdul.

Uang yang diterimanya inilah yang kemudian dilaporkan ke KPK.

Selama kariernya menjadi penghulu, Abdul tak hanya menerima uang. Suatu kali, usai menikahkan warga, Abdul yang ditemani modin (pencatat pernikahan) diberi amplop oleh warga sebagai tanda terima kasih.

"Setelah sampai di rumah saya buka amplop itu. Isinya bukan uang, tetapi surat keterangan sehat," kata Abdul sambil tertawa.

Abdul menjadi PNS sejak 2005, dan bertugas sebagai penghulu sejak 2012 sebagai PNS Golongan IIIB dengan gaji sekitar Rp3 juta sebulan.

Uang tersebut dipakai untuk menafkahi seorang istri dan dua anak yang berumur sembilan dan dua tahun.

"Insya Allah kalau kita bersyukur, bisa menerima, itu sudah cukup. Niatnya juga kerja untuk ibadah bisa berkah, barokah, lancar, kerja pun nyaman tidak kepikiran macam-macam," kata Abdul.

Berapa tahun anda harus mencicil mobil mewah yang dimiliki Ketua DPR, Bambang Soesatyo? Ketika harga sebuah tas jinjing menyamai harga rumah 'Jam tangan super mewah Richard Mille untuk Setya Novanto': Fredrich ancam tuntut Andi Narogong

"Kalau tidak kakean nggaya (kebanyakan bergaya) pasti bisa," ujar lulusan Ilmu Syariah STAIN Surakarta ini.

Sejak kecil, orang tuanya sudah menanamkan nilai kejujuran kepada Abdul.

"Insya Allah kalau agamanya baik, pasti yang lain akan mengikuti. Bapak dan ibu sejak awal kerja juga sudah memberi nasihat, tidak usah macam-macam, kerja yang baik," kata dia.

Prinsip inilah yang dijalankannya saat menghadapi kebingungan akibat warga yang memaksa memberikan uang.

"Kami hanya diberi tahu bahwa ada larangan gratifikasi. Tapi tidak pernah diberi tahu teknis pelaporannya. Makanya saya cari-cari info melalui internet," ujar Abdul yang tinggal di Perum Kalikotes, Klaten.

Dari hasil berselancar di dunia maya, ia pun menemukan blog Samanto. Ternyata, pemilik blog tersebut juga merupakan penghulu di Kabupaten Bantul, dan mereka berdua berkawan di sosial media meskipun belum pernah bertemu.

Hak atas foto Fajar Sodiq/BBC Indonesia Image caption Abdul (berpeci) di KUA Trucuk, Klaten.

Jika Abdul ada di peringkat pertama orang yang paling sering melaporkan gratifikasi, maka Samanto ada di urutan keempat dengan 38 kali melaporkan gratifikasi bernilai total Rp2.985.000.

"Saya banyak belajar dari beliau, dia mengajarkan cara dan prosedurnya," kata Abdul.

Gratifikasi tidak dilaporkan setiap kali menerima amplop tapi mengumpulkan amplop gratifikasi sampai maksimal 30 hari, dan baru melaporkannya.

"Cara melaporkannya mudah. Kita unduh blanko KPK, kemudian diisi. KPK akan memberikan balasan klarifikasi mengenai mana saja gratifikasi milik negara. Kemudian setelah itu, kita dikirimi rekening bank KPK untuk menyetor uang yang dianggap gratifikasi itu," jelasnya.

Dia yakin masih banyak orang-orang lain yang diam-diam bekerja memerangi korupsi, tapi tidak terekspos.

"Untuk Indonesia bebas korupsi, berat ya kayaknya. Karena tidak hanya butuh usaha penyelenggara negara tapi dari masyarakat juga. Selama masih ada yang memberi dan masih ada yang menerima, korupsi akan terus ada," katanya.

"Minimal dari sendiri dulu, sebisa mungkin menolak jika diberi suap," kata dia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.