MoU TNI dan Polri: Keterlibatan TNI untuk tangani unjuk rasa dan mogok diprotes

MoU TNI dan Polri: Keterlibatan TNI untuk tangani unjuk rasa dan mogok diprotes
Nota kesepahaman ditandatangani Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian Hak atas foto SETKAB Image caption Nota kesepahaman ditandatangani Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Nota kesepahaman, MoU, TNI dan Polri melibatkan aparat TNI dalam fungsi kepolisian seperti menghadapi unjuk rasa dan mogok kerja.

Poin dikritik karena dinilai sebagai kemunduran dari amanat reformasi.

"Ini merupakan kemunduran kebebasan dan demokrasi," kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid kepada BBC Indonesia, Jumat (2/2).

Menurut Usman, dilibatkannya TNI dalam persoalan menjaga ketertiban tidak sesuai dengan amanat reformasi.

"Ada tanda-tanda pembalikan arah demokrasi Indonesia," kata dia.

Juru bicara TNI mengakui adanya nota kesepahaman soal peran TNI yang membantu polisi dalam urusan sipil. "Intinya untuk kerja sama memberikan bantuan kepada polisi," kata Kepala Puspen TNI Mayjen Sabrar Fadhilah kepada BBC Indonesia, hari Jumat (02/02).

Apa saja isi nota kesepahaman itu?

Isi nota tersebut antara lain mengatur perbantuan TNI untuk polisi, misalnya dalam menghadapi unjuk rasa, mogok kerja, kerusuhan massa, konflik sosial, dan mengamankan kegiatan masyarakat dan pemerintah.

Pada bagian berikutnya, nota yang ditandatangani Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, menyebutkan segala biaya perbantuan itu dibebankan kepada polisi.

Nota kesepahaman itu ditandatangani pada 23 Januari 2018 dan berlaku untuk lima tahun ke depan dan bisa berlaku kembali atas kesepakatan kedua pihak.

"Berakhir apabila ada UU/PP atau Kepres yang mengatur perbantuan TNI kepada Polri," tulis nota tersebut.

Hak atas foto ISTIMEWA Image caption MoU dinilai akan memberi ruang TNI menangani mogok kerja dan unjuk rasa.

Mayjen Sabrar mengatakan hal-hal yang diatur itu sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.

Antara lain UU 2/2002 tentan Kepolisian RI, UU 34/2004 tentang TNI, UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan UU 39/1999 tentang HAM.

Dalam UU 34/2004 pasal 7 disebutkan dalam melaksanakan tugas pokoknya, TNI bisa membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sementara UU 7/2012 mengatur peran TNI dalam keadaan konflik. Pasal 33 menyebut permohonan perbantuan TNI tetap diajukan kepada pemerintah.

Selama ini hal tersebut sudah berjalan, dan MoU tadi, lanjut Sabrar, adalah merupakan perpanjangan dari nota kesepahaman sebelumnya yang dibuat pada 2013.

Hak atas foto KEMENSETNEG Image caption Nota kesepahaman ini merupakan perpanjangan dari nota yang ada sebelumnya, kata Kapuspen TNI.

"Selama ini sudah dilakukan kerja sama memberikan bantuan," kata dia.

Menurut Sabrar, TNI hanya akan berada di belakang polisi dalam melaksanakan fungsi keamanan. "Kami tetap mengedepankan (pendekatan) polisioner," ujarnya.

Buruh menolak kehadiran TNI di mogok kerja

Salah satu poin yang disorot dalam MoU tersebut adalah keterlibatan TNI dalam menangani mogok massal. Padahal mogok adalah hak buruh dan persoalan hubungan industrial 'yang tak perlu melibatkan aparat'.

"Jelas kami menolak," kata aktivis buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Simon. Alasannya, "Kehadirannya cukup intimidatif."

Orde Baru dibenci, Orde Baru dirindukan Dokumen rahasia Amerika dibuka, TNI disarankan melakukan hal yang sama Penunjukan dua jenderal polisi sebagai pejabat gubernur dinilai tak layak

Keberadaan nota kesepahaman, lanjut Simon, akan jadi landasan bagi kehadiran aparat militer untuk terlibat dalam setiap konflik perburuhan.

"Akan jadi legitimasi untuk melakukan tindakan represif terhadap buruh," kata dia.

Menurut Simon, bahkan tanpa MoU itu selama ini dalam setiap mogok buruh TNI selalu hadir. Alasan aparat militer hadir adalah karena merupakan wilayah kerja mereka.

Hal senada disampaikan pengamat politik perburuhan dari Universitas Indonesia, Irwansyah.

"Unjuk rasa dan mogok kerja sudah diatur lewat UU. Tidak perlu pelibatan militer, yang tidak disiapkan untuk kebutuhan itu," kata dia.

Menurut Irwansyah, keterlibatan militer terutama dalam menangani mogok kerja buruh akan memicu potensi kekerasan dan intimidasi seperti masa orde baru.

"Itu mencederai semangat reformasi," kata mantan aktivis 1998 ini.

Hak atas foto KASBI Image caption Kehadiran militer di hubungan industrial dikhawatirkan 'membuka kemungkinan munculnya intimidasi'.

Irwansyah menyoroti kasus-kasus kekerasan yang melibatkan tentara selama ini yang belum tuntas penangannya. "Misalnya Semanggi 1 dan 2 dalam urusan unjuk rasa, dan pembunuhan Marsinah dalam urusan perburuhan," ujarnya.

Contoh kasus yang hampir sama disampaikan Usman Hamid, yakni terhadap La Gode di Maluku Utara pada Oktober 2017 silam. Ia tewas pasca ditahan dan disiksa di pos militer di Banau.

"Setiap ada penyimpangan kelembagaan atau profesi di militer tidak pernah dipertanggungjawabkan secara benar," kata Usman.

Dia menambahkan contoh yang paling gamblang lainnya adalah di Papua, di mana aparat 'tidak profesional' menangani unjuk rasa damai. "Sehingga berakibat penembakan atau pembunuhan," ujar Usman.

Hak atas foto Getty Images Image caption Penolakan keterlibatan militer dalam urusan sipil disuarakan sejak reformasi 1998.

Amnesty International menilai MoU tersebut akan berdampak pada merosotnya kualitas demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia.

Menurut Usman, pelibatan tentara dalam keamanan merupakan akibat rendahnya akuntabilitas institusi keamanan.

"Dan itu konsekuensi logis dari otoritas sipil yang meminggirkan akuntabilitas institusi keamanan," kata dia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.