Putra-putri Papua dari ‘gubuk dan kurang makan’ sampai ke pendidikan bergengsi dunia

Putra-putri Papua dari ‘gubuk dan kurang makan’ sampai ke pendidikan bergengsi dunia
Billy Hak atas foto Billy Mambrasar Image caption Billy Mambrasar melanjutkan studi master of science di Universitas Oxford.

Sejumlah mahasiswa Papua yang mendapatkan beasiswa di Inggris bercerita tentang kerja keras mereka, mulai dari provinsi asal dengan kondisi sangat terbatas sampai ke jenjang pendidikan bergengsi dunia.

Kondisi terbatas yang mereka alami di Papua, termasuk "rumah gubuk tanpa listrik dan kurang makan" dan minimnya prasarana lain, tak menyurutkan kerja keras mereka untuk sampai ke perguruan tinggi.

Dengan keberhasilan di perguruan tinggi di Inggris, mereka banyak mendorong dan membantu para siswa di Papua dan Indonesia pada umumnya yang juga "ingin melanjutkan studi lebih lanjut termasuk di luar negeri."

#KabarDariInggris Putra-putri Papua yang berprestasi Tim mahasiswa Indonesia yang ingin 'selamatkan ratusan ribu penderita TBC' George Saa, pemuda Papua dengan prestasi 'sangat spesial' Cerita siswi Malaysia yang ditawari delapan universitas terbaik Amerika

Para mahasiswa ini termasuk Billy Mambrasar, Rio Albert, Voni Blesia, Simon Tabuni dan George Saa.

Billy, yang berasal dari Serui saat ini tengah menempuh gelar Master of Science di Said Business School, Universitas Oxford, setelah sempat mendapat beasiswa di Australia dan ikut dalam pertukaran di Universitas Harvard, Amerika Serikat.

"Orang tua saya kan cuma pekerja lepas dan ibu saya jual-jual kue di pasar ... siapa yang sangka, bayar SPP sering tertunda … makan kurang, rumah dari atap rumbia tanpa listrik dan untuk bertahan hidup harus berjualan kue di pasar, tapi akhirnya bisa bersekolah di salah satu sekolah bergengsi," kata Billy.

Hak atas foto Billy Mambrasar Image caption Tas yang dibagikan saat masuk Universitas Oxford mengingatkan Billy akan pembagian tas yang harus diambil ibunya saat masih SD di Papua."Mengangkat keluarga dari kemiskinan"

"Semoga ini bisa jadi inspirasi buat anak-anak miskin Indonesia dan Papua lain…bahwa ke institusi pendidikan tingkat dunia bukan tidak mungkin," kata Billy saat diterima di Universitas Oxford.

Cerita lain dari Rio Albert yang berasal dari Wamena dan "sering terlambat ke sekolah karena kabut yang tak bisa diprediksi" di daerah pedalaman Papua itu.

Rio yang saat ini mengambil program doktoral di Universitas Southampton Inggris, bidang sosiologi dan kebijakan sosial. bersekolah sampai SMP di Wamena dengan tantangan "mencari sekolah lanjutan yang lebih baik."

"Saya mendengar dari kakak kelas saya yang melanjutkan sekolah di Jayapura karena relatif kualitas sekolah lebih baik ketimbang di pedalaman. Tantangannya yah jauh dari keluarga karena tidak punya famili di Jayapura."

Baik Rio maupun Billy, secara individu dan berkelompok membantu para siswa di Indonesia, khususnya di Papua dan daerah terpencil lain dalam bidang pendidikan.

Saat orang Madiun yang lama tinggal di Malang bertemu dengan 'orang Solo' Tempe: 'Makanan ajaib' yang (masih) dianggap murahan di Indonesia Seberapa besar kesempatan kerja bagi kelompok difabel di Indonesia?

"Kami membentuk grup di sosial media antara lain Papua Scholarship (beasiswa Papua) ... dan juga pusat karir, kesempatan magang, kursus dan juga kami bagikan bahan belajar yang kami harapkan dapat membantu belajar, bisa memotivasi adik-adik belajar lebih giat, kemudian mengejar cita-cita lebih tinggi," kata Rio.

Menurutnya, kelompok-kelompok ini dibuat bersama rekan lain termasuk Billy dan juga George Saa.

Sementara Billy melalui organisasi yang dibentuk bersama profesional muda Indonesia lain, Kitong Bisa, memberikan pelatihan wirausaha untuk anak-anak muda di daerah terpencil, terutama di Papua dan Aceh.

"Lembaga ini didirikan berdasarkan kisah hidup saya yang mampu mengangkat keuarga dari kemiskinan menjadi lebih baik karena akses terhadap pendidikan," kata Billy.

"Pendidikan kewirausahaan ditujukan agar mereka punya semangat untuk bertahan hidup dengan keterampilan yang dia punyai," tambahnya.

Hak atas foto Rio Alberto Image caption Rio Alberto bersama para mahasiswa Papua lain di pinggir Sungai Thames, London.Membangun Papua dari pendidikan Hak atas foto George Saa Image caption George Saa memimpin organisasi Lingkar Studi Papua.

Mahasiswa lain George Saa, mahasiswa S2 teknik material di Birmingham, Inggris, banyak mendapatkan tawaran beasiswa setelah menang dalam kompetisi dunia First Step di Nobel Prize dalam fisika pada 2004 saat masih di SMA.

Sempat pula mengalami kesulitan finansial untuk melanjutkan sekolah namun di tengah tantangan ini, moto "selalu ada jalan" membuatnya sampai menempuh jenjang pendidikan seperti sekarang.

Sebagai ketua Lingkar Studi Papua, George bersama rekan-rekan dari Papua lain ingin "membangun Papua dari segi pendidikan" karena masih tertinggalnya provinsi ini dari target nasional dari sisi pendidikan.

Hak atas foto Voni Blesia Image caption Voni Blesia mengambil gelar doktor dengan penelitian soal kelebihan zat besi yang menyebabkan diabetes tipe-2.

Mahasiswa asal Papua lain yang berprestasi termasuk Voni Blesia dan Simon Tabuni.

Voni yang berasal dari Timika tengah menempuh gelar doktoral dalam bidang Life Sciences dengan peneltian tentang kelebihan zat besi yang dapat menyebabkan diabetes tipe-2.

"Setiap berangkat sekolah selalu jam 5 pagi. Ini hal yang biasa, namun yang berbeda adalah jam segitu masih gelap dan saya sebagian besar waktu selalu sendiri bersama dengan sang supir," tutur Voni.

"Saya terkadang berpikir tentunya saat berada di bangku perkuliahan, saya kok dulu berani sekali sendiri bersama dengan sang supir yang bisa saja melakukan hal-hal yang sadis."

"Sepanjang jalan saat itu masih penuh dengan hutan yang isu-isunya banyak terjadi kejadian bengis seperti pemerkosaan dan pembunuhan," cerita Voni saat bersekolah di Timika.

Sementara Simon Tabuni, yang saat ini menempuh studi di SOAS, London berkisah tentang tantangan terberatnya belajar bahasa Inggris untuk meraih beasiswa.

Hak atas foto Simon Tabuni Image caption Simon Tabuni menempuh studi di SOAS, London.

"Pencapaian saya hingga berakhir di SOAS University of London tidak terlepas dari beberapa kegagalan, dalam peningkatan kompetisi bahasa Inggris, yang menguras biaya, waktu dan tenaga," cerita Simon.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.