Anak-anak muda yang bergerak dengan buku, juga di jalanan

ADEK BERRY/AFP/Getty Images Hak atas foto ADEK BERRY/AFP/Getty Images Image caption Seorang anak sedang membaca.

Berawal dari kecintaan terhadap buku, anak-anak muda di berbagai kota di Indonesia menginisiasi gerakan sosial.

Buku bukan hanya interaksi antara pembaca dan bukunya. Demikian kesimpulan yang diambil oleh Senar Togok, salah satu pendiri Perpustakaan Jalanan Bandung yang telah sembilan tahun membuka lapak buku gratis di taman.

"Perpustakaan jalanan mengubah fungsi buku menjadi fungsi sosial," kata Senar saat dihubungi oleh BBC Indonesia, 20 Maret lalu.

Meskipun aneka studi menunjukkan rendahnya minat baca di Indonesia, perpustakaan jalanan yang digawangi oleh anak-anak muda tumbuh di banyak kota di Indonesia. Tak hanya memberikan semangat membaca, mereka juga peduli pada permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya.

Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, sekelompok perempuan mendirikan perpustakaan jalanan karena kurangnya akses pada buku.

"Di sini toko buku tidak lengkap. Teman-teman di sini selalu bilang mau beli buku tapi di sini tidak ada," kata Dewi Lestarini, salah satu pendiri Buku Ini Aku Pinjam, perpustakaan jalanan di Mataram.

Pustaka Bergerak: menyerbu pelosok Indonesia dengan buku gratis Cara mudah agar bisa lebih banyak membaca

Dewi dan teman-temannya bercita-cita untuk menularkan virus minat baca.

"Orang-orang di sekitar saya saja kurang buku, gimana kalau kita bikin perpus jalanan agar teman-teman lain bisa juga baca buku," kata Dewi saat dihubungi BBC Indonesia.

Berawal dari koleksi pribadi empat orang pendirinya, mereka memulai perpustakaan jalanan di Taman Sangkareang, Mataram pada 2016. "Sampai akhirnya kami terbantu dari donasi para donatur," kata dia.

Kini Buku Ini Aku Pinjam dikelola sekitar 15 aktivis yang sebagian besar perempuan.

Hak atas foto Buku Ini Aku Pinjam Image caption Dua relawan sedang merekap buku koleksi Buku Ini Aku Pinjam.

Tak mudah mendirikan perpustakaan di jalanan. "Beberapa kali kami sampai gontok-gontokan dengan Satgas Taman. Pernah buku kami diangkut dan disita," kata perempuan berusia 27 tahun ini.

Kini mereka sudah minta izin pada Kepala Dinas Pertamanan, sehingga tak lagi ada masalah.

Perpustakaan mereka buka setiap Senin, Rabu dan Jumat pukul 19.00-21.00. "Karena tradisi di sini anak perempuan harus sudah ada di rumah pada jam 10. Karena kebanyakan aktivis perempuan, jadi tutup jam 9 agar bisa sampai di rumah jam 10," kata Dewi.

Mereka kini mengelola 500-an buku. Selain buka lapak, kepedulian mereka pada sekitarnya diwujudkan melalui program pembagian buku untuk taman bacaan di pelosok-pelosok Lombok.

"Buku dari donasi juga kami salurkan ke pelosok, kadang berjam-jam cewek-cewek naik motor," kata dia.

"Musuh" mereka adalah peminjam buku yang tidak mengembalikan. "Buku bisa dibawa pulang dengan menunjukkan identitas, meskipun akhirnya banyak buku yang tidak kembali. Mungkin ada 100-an buku tidak kembali," kata Dewi.

Buku yang menggerakkan isu sosial

Bagi Senar Togok, salah satu pendiri Perpustakaan Jalanan Bandung, perpustakaan jalanan bukan hanya sekadar soal membaca.

"Buku bukan hanya membaca, perpustakaan jalanan mengubah fungsi buku menjadi fungsi sosial," kata Senar Togok saat dihubungi BBC Indonesia melalui telepon. Baginya, buku bukan hanya interaksi antara seseorang dan buku yang dibacanya.

Mereka yang datang ke lapak yang tadinya hanya tertarik dengan buku, perlahan berubah. "Kalau ada teman baru datang, kami tanya, senang baca apa? Jadilah obrolan, ada yang tidak tahu pun berdikusi," kata Senar.

Senar menjelaskan bahwa dari membuka lapak buku setiap pekan, terjadi komunikasi yang membentuk banyak kegiatan.

Pertunjukan seni, acara band, kegiatan amal. Buku bukan sekadar buku, tapi menjadi cara komunikasi yang lebih luas dan menggerakkan isu sosial seperti soal lingkungan, lahan, penggusuran, pabrik, dan pertarungan budaya.

"Masa kita baca buku kita nggak "turun"? Masa baca koran ada penggusuran di kelurahan kita nggak ke sana? Buku itulah yang menunjukkan jalan kami," kata dia.

Perpustakaan Jalanan Bandung yang sudah buka sejak sembilan tahun lalu, sejak 2009, bisa dibilang sebagai salah satu perpustakaan jalanan yang paling konsisten membuka lapaknya.

Menurut Senar, mereka bisa bertahan sembilan tahun karena mematuhi prinsip yang sudah disepakati sebelumnya, yaitu asosiasi bebas dan tidak adanya aturan, visi atau rencana yang harus dilakukan.

Segala sesuatu diupayakan bersama untuk menghindari pengaruh dari luar. Perpustakaan ini dia dirikan bersama lima temannya yang lain, sampai akhirnya kini punya banyak jejaring di mana-mana.

"Jadi meskipun kegiatannya minimalis, kami cukup bangga karena memang dihidupi oleh teman-teman mulai dananya, kelengkapan bukunya, semua dikerjakan bareng-bareng," kata pria 29 tahun ini. Dia menyadari bahwa tanpa target tujuan yang besar, perkembangan perpustakaan ini dinilainya lambat. "Sembilan tahun di situ-situ saja, tapi banyak teman dan ide-ide baru."

Mereka buka lapak setiap pekan di Taman Cikapayang, Dago mulai pukul 19.00. Siapapun boleh membaca, maupun meminjam untuk dibawa pulang. "Tapi hal terbodoh kan adalah mengembalikan buku," kata Senar sambil tertawa.

Baginya, peminjam yang lupa atau tidak mengembalikan adalah hal biasa.

"Malah bagus dia ambil buku. Syukur-syukur dibaca, ya paling tidak jadi pajangan," kata dia dengan santai. Setiap tahun puluhan buku hilang, yang menurut Senar tidak masalah karena buku-buku tersebut juga datang dari komunitasnya sendiri, jadi hal ini seperti siklus yang tidak berujung.

Pada tahun 2016, Perpustakaan Jalanan Bandung sempat dibubarkan oleh aparat. Bahkan, beberapa aktivisnya ada yang dipukul dan diinterogasi. Senar justru menganggapnya sebagai kebanggaan.

"Setelah sembilan tahun akhirnya ada juga yang merepresi, kita sudah gol. Kami baca buku direpresi, artinya menang dong kami. Berarti buku itu sudah kayak peluru," kata dia dengan bersemangat.

Tahun 2017, mereka lebih fokus pada distribusi buku ke banyak daerah. Dekat dengan budaya punk, mereka juga menyalurkan hingga 10 ribu zine ke dalam dan luar negeri. Meskipun tidak bergabung di aliansi apapun, mereka punya jaringan yang kuat dengan perpustakaan lainnya dari Jawa Barat hingga Kalimantan.

"Ada banyak yang punya ide unik, misalnya Ipul di Ciamis yang membuat perpustakaan sepeda. Ada yang barter buku, atau buka di siskamling," kata dia.

"Apa kegiatan yang semua oroang bisa masuk? Mau dia punk, mahasiswa, aktivis atau ustaz? Itulah buku," kata Senar.

Gerakan literasi di media sosial

Adapun komunitas Pecandu Buku yang memulai gerakannya dari media sosial, juga berujung di jalanan.

Pecandu Buku adalah nama komunitas yang didirikan oleh Aulia Angesti dan Fiersa Besari. Prihatin melihat minat baca di Indonesia yang sangat rendah dan kecintaan pada dunia literasi, keduanya ingin mendongkrak minat membaca buku.

Dalam tiga tahun sejak didirikan pada 2015, hingga kini Pecandu Buku sudah punya 500 anggota dan 104 ribu pengikut di Instagram.

"Pergerakan di sosial media sangat masif, maka kami memanfaatkan banget media Instagram untuk menyebarkan virus membaca," kata Aulia Angesti saat diwawancarai BBC Indonesia. Caranya, adalah dengan meminta para pengikut untuk membaca buku, menuliskan ulasannya, kemudian mempublikasikannya di Instagram @pecandubuku.

#TrenSosial: Aksi armada pustaka di Polewali Mandar Memperjuangkan aliran buku ke pelosok negeri

Menulis ulasan juga menjadi syarat keanggotaan untuk bergabung di grup Pecandu Buku. Cara ini dinilai cukup mudah dilakukan oleh orang yang memang suka membaca, atau baru mulai membaca buku.

Mengulas buku juga menjadi cara untuk mendorong pembaca untuk menulis dan menganalisis buku yang dibacanya. "Tidak berhenti di membaca saja, tapi ada outputnya untuk menulis," kata Aulia.

Mereka juga memanfaatkan kepopuleran Fiersa Besari sebagai seorang pemusik dan penulis untuk menularkan semangat membaca dan menulis. Dari sini anggota Pecandu Buku mulai berdatangan dari seluruh Indonesia.

"Sebenarnya gerakan ini tidak ada "pusatnya", tapi kebetulan saja memang aktivisnya ada di Bandung. Tapi kami posisinya sama rata," kata Aulia (25 tahun).

Saat ini anggota Pecandu Buku ada di hampir semua kota besar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda, mulai dari usia SMA, kuliah hingga awal-awal kerja.

"Ke depannya kamu ingin semua orang suka membaca, bukan hanya karena ikut-ikutan, tapi dari diri sendiri," kata Aulia.

Dengan target memang untuk anak muda, mereka banyak menggunakan media sosial dan aplikasi chat untuk berorganisasi. "Dari sini kami saling mempengaruhi untuk membaca buku di luar minat awalnya," kata dia. Meskipun terbuka untuk segala macam buku, bacaan yang masih paling diminati adalah novel.

"Dari sini para anggota mulai bergerak untuk mengembangkan literasinya di kota masing-masing," kata Aulia. Beberapa kota membuka perpustakaan jalanan, yang paling aktif antara lain Jakarta, Makassar, Jogja, Pekanbaru, Palembang dan Manado.

Di Jakarta, lapaknya digelar di Taman Suropati setiap akhir pekan.

Buku-buku perpustakaan jalanan berasal dari koleksi pribadi maupun donasi buku. Donasi buku dipusatkan dari Bandung dan kemudian didistribusikan ke perpustakaan jalanan di kota-kota lain.

Membuka akses buku untuk semua orang

Di Yogyakarta, Perpustakaan Jalanan DIY terbentuk dari keinginan untuk membuka akses perpustakaan untuk siapa saja.

"Kami ingin membuang stigma bahwa perpustakaan sulit diakses, terutama untuk orang jalanan. Kalau masuk ke perpustakaan kota harus rapi, harus punya identitas. Tapi di sini enggak harus begitu," kata Dian Malau (23 tahun), salah satu aktivis di Perpustakaan Jalanan DIY.

Siapa saja boleh datang tanpa harus ada identitas, santai sambil minum kopi, mengobrol dan baca buku.

Perpustakaan Jalanan DIY dibuka setiap Jumat mulai pukul 19.00 sampai dini hari di dekat Tugu Yogyakarta. Ratusan pustakanya semua dikumpulkan bersama-sama secara kolektif dan dari donasi. Pembacanya beragam, dari anak jalanan, mahasiswa, maupun wisatawan yang lewat.

"Pedagang di sekitar juga, sambil jual wedang ronde baca buku, ada juga ibu-ibu yang langganan pinjam novel. Sambil ngopi, diskusi, ngobrol, suasananya lebih intim dan bebas," kata Dian yang masih kuliah di Universitas Atmajaya ini.

Buku-buku boleh dibawa pulang, meskipun kadang-kadang disandera lama oleh peminjam.

Tidak ada struktur organisasi di komunitas ini. Perpustakaan ini berawal dari aneka macam perpustakaan jalanan yang berbeda di Jogja. "Berawal dari postingan Bone (Aliansi Perpustakaan Jalanan), akhirnya kami sepakat meninggalkan nama masing-masing dan bergabung. Karena tujuannya sama, kenapa tidak bersatu saja agar energinya lebih banyak," kata dia.

Mereka berasal dari Pecandu Buku, Wacana Kerdil, dan komunitas-komunitas lain.

Aktivitas yang dimulai sejak Mei 2017 ini tak hanya berhenti di membuka lapak buku. "Literasi jadi pondasi. Karena sudah membaca, rangsangan ke isu sosial makin besar," kata dia. Aktivis perpustakaan pun tertarik untuk menanggapi isu-isu sosial yang ada di sekitar mereka.

Misalnya, saat ini mereka menjadi relawan di Kulon Progo. "Intinya, apa yang bisa dibantu oleh perpustakaan di daerah konflik? Kami lihat di sana banyak anak-anak yang sekolahnya digusur, jadi kami buka lapak di sana dan mengajak anak-anak membaca dan menggambar," kata Dian menjelaskan.

Mereka juga bekerjasama dengan komunitas di kota-kota lain. "Dari Aliansi kami berbagi informasi dengan kota-kota lainnya, apa yang bisa dibantu? Biasanya lebih ke penyebaran informasi soal donasi dan undangan acara," kata Dian.

Masalah besar perpustakaan ini adalah sumber daya manusia untuk mengurus lapak. Sebab anggotanya datang dan pergi karena kesibukan masing masing sebagai mahasiswa, pekerja, seniman. Selain itu, ada satu lagi ancaman yang bisa membuatnya bubar seketika: hujan.

Terus memperbarui diri dengan ide-ide baru

Melihat banyaknya perpustakaan jalanan di berbagai kota di Indonesia, tahun lalu beberapa aktivis literasi membentuk Aliansi Perpustakaan Jalanan.

Tujuannya, untuk mengumpulkan data perpustakaan jalanan di Indonesia dan membantu penyebaran informasi. Lebih dari 50 komunitas dan perpustakaan jalanan tergabung dalam jejaring informasi ini.

"Selama tujuan kita sama, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Semua ada dalam perpustakaannya masing-masing, baik yang ideologinya kekirian, nasionalis maupun agamis," kata Hendrik Goni, salah satu aktifis Aliansi Perpustakaan Jalanan pada BBC Indonesia.

Selain itu, Aliansi Perpustakaan Jalanan juga mendorong perpustakaan-perpustakaan jalanan di seluruh Indonesia untuk kreatif mengadakan agenda dan kegiatan untuk menarik minat pembaca.

Hendrik yang biasa dipanggil Bone ini mencontohkan Perpustakaan Jalanan DIY di Yogyakarta yang semula terdiri dari beberapa perpustakaan jalanan yang berdiri sendiri-sendiri.

"Kenapa perpustakaan ini tidak digabungkan menjadi satu? Kami mengumpulkan kontak kawan-kawan pegiat perputakaan jalanan di Jogja, sampai akhirnya mereka bertemu dan dan membentuk Perpustakaan Jalanan DIY atas dasar kesepakatan bersama." kata dia.

Aliansi juga mendorong perpustakaan jalanan untuk banyak melakukan kegiatan bersama, lintas komunitas.

"Misalnya, aktivis Tangerang yang melakukan solidaritas piknik untuk kasus perampasan lahan bandara di Kulonpgoro, atau Perpustakaan Pinggiran Ponorogo mengadakan Camp Literasi yang mengundang aktivis dari kota-kota lainnya," kata Hendrik.

Menurutnya, tantangan perpustakaan jalanan saat ini adalah bagaimana menumbuhkan minat masyarakat untuk membaca di lapak. "Perpustakaan jalanan saya dulu bubar karena imajinasinya masih sempit, cuma ngarep ada yang baca," kata dia.

Padahal, dunia perpustakaan jalanan tak hanya soal membaca. "Yang terpenting adalah membongkar interaksi sosialnya. Sekarang makin suram, di kantin kampus saja isinya semua main game Mobile Legend di HP," kata dia.

Untuk itu perpustakaan jalanan harus terus memperbarui diri dengan ide-ide baru. "Saat ini kami menekankan bahwa siapa saja boleh datang, tidak perlu suka membaca. Kumpul dulu saja, itu sudah kemajuan," kata dia.

Kapan terakhir kali Anda membaca buku? Untuk mulai membaca, berikut ini beberapa rekomendasi buku dari para pegiat literasi:

Aulia Angesti, Pecandu Buku Rectoverso, Dewi Lestari Entrokdan 86, Okky Madasari

Dewi Lestarini, Buku Ini Aku PinjamAroma Karsa, Dewi Lestari Sapiens, Yuval Noah Harari

Dian Malau, Perpustakaan Jalanan DIYBumi Manusia, Pramoedya Ananta ToerCoret-Coret di Tembok, Eka Kurniawan

Hendri Goni, Aliansi Perpustakaan JalananAnimal Farm dan 1984, George Orwell Ekofenomenologi, Saras Dewi

Senar Togok, Perpustakaan Jalanan BandungAl Quran dan TerjemahannyaThus Spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (Terjemahan HB Jassin)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.