Kontroversi dokter Terawan: IDI akan berikan ruang untuk membela diri

Kontroversi dokter Terawan: IDI akan berikan ruang untuk membela diri
Dr. Terawan Agus Putranto Hak atas foto Widiya Wiyanti/Detik.com Image caption Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI menuduh dr. Terawan melakukan pelanggaran etika.

Ikatan Dokter Indonesia akan memberikan ruang untuk pembelaan diri kepada dr. Terawan Agus Putranto, yang direkomendasikan agar diberhentikan sementara dari keanggotaan organisasi profesi tersebut.

Ketua Pengurus Besar IDI, dr. Daeng M. Faqih, mengkonfirmasi bahwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran telah menjatuhkan sanksi kepada dr. Terawan berupa pemberhentian sementara dari IDI.

Ia menegaskan putusan MKEK masih berupa rekomendasi dan "bukan masalah praktik" walau menolak mengungkap rincian pelanggaran yang telah dilakukan kepala Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu.

"Saya tidak bisa menyampaikan karena itu sebenarnya masalah internal," jelasnya kepada BBC ketika diwawancarai lewat sambungan telepon.

Daeng menambahkan bahwa PB IDI telah melakukan rapat koordinasi internal yang memutuskan akan melakukan koordinasi dengan pihak terkait, terutama pimpinan TNI. Ia menambahkan bahwa persoalan etika sebenarnya bersifat internal di komunitas dokter.

Dokter yang diduga lakukan pencabulan terhadap calon perawat 'akan ditindak tegas' 'Tak ada benjol bakpau' dan lima hal lain yang muncul dari rangkaian sidang Setya Novanto Kasus bayi Debora: Mengapa banyak rumah sakit swasta tak masuk BPJS? Siapakah Dokter Terawan?

Mayjen TNI Terawan Agus Putranto adalah dokter yang saat ini mengepalai Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta.

Ia pernah menjadi anggota tim dokter kepresidenan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009.

Lahir di Yogyakarta dan tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, ii lalu mengambil S2 spesialis radiologi di Universitas Airlangga, Surabaya, sebelum melanjutkan S3 di Universitas Hasanuddin, Makassar.

Tapi di mata publik, ia dikenal dengan terapi 'cuci otak', yang menjadi dasar tesis S3-nya, yang diterbitkan di jurnal ilmiah Bali Medical Journal pada tahun 2016. Terapi tersebut menggunakan obat bernama heparin, yang digunakan untuk membersihkan penyumbatan di pembuluh darah yang menyebabkan stroke.

Beberapa sosok ternama mengaku pernah menjadi pasien dr. Terawan, antara lain mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, tokoh Partai Golkar, Aburizal Bakrie, Kombes Pol Krishna Mukti, dan mantan menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang sampai memuji terapi 'cuci otak' di blog pribadinya.

Namun demikian, terapi ini tetap kontroversial di kalangan sesama dokter karena disebut belum melalui pembuktian secara ilmiah dengan uji klinis pada manusia.

Seperti apakah kontroversinya?

Selasa (03/04), beredar kabar bahwa dr. Terawan diberhentikan sementara dari keanggotaan IDI, selama 12 bulan dari 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.

Sehari kemudian, situs berita Kompas mengutip Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dr. Prijo Sidipratomo yang mengatakan bahwa dr. Terawan dianggap melanggar pasal empat dan pasal enam Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Pasal empat berbunyi: "Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri".

Sedangkan pasal enam berbunyi: "Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat".

Kabar ini mendapat tanggapan dari beberapa mantan pasien sang dokter, yang bersuara membelanya di media sosial. Dukungan juga datang dari Komisi I DPR, yang mengunjungi RSPAD Gatot Subroto pada Rabu (04/04) siang.

Ketika dihubungi BBC, Sekretaris MKEK dr. Pukovisa Prawiroharjo enggan mengkonfirmasi rincian dugaan pelanggaran etika yang dilakukan dr. Terawan -dan apakah pelanggaran berkaitan dengan metode terapinya yang kontroversial.

Dr. Pukovisa hanya memastikan kepada BBC bahwa putusan MKEK -yang merupakan lembaga otonom yang berkoordinasi dengan IDI- adalah persoalan "etika murni". Ia pun membantah bahwa putusan tersebut terkait pencapaian akademik dr. Terawan.

"Kami tidak mempertimbangkan pencapaian akademik yang bersangkutan, termasuk riset-risetnya, tidak juga sisi tindakan kedokteran yang dikerjakan; jadi murni dari sisi etika perilaku profesional beliau," kata dr. Pukovisa.

Ditambahkan bahwa penjatuhan sanksi kepada dr. Terawan dilakukan melalui jalur yang sah dan sewajarnya namun menyayangkan bocornya informasi tersebut ke publik padahal seharusnya berlangsung secara internal.

Ketua PB IDI dr. Daeng M. Faqih mengatakan pihaknya tengah menyelidiki bagaimana informasi ini bisa bocor.

Selama ini, tegasnya, MKEK biasa memberikan penilaian dan menjatuhkan sanksi pada dokter-dokter yang melanggar aturan tapi informasi tersebut tidak dibuka ke publik.

Bagaimana tanggapan dokter Terawan?

Dalam jumpa pers di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (04/04), dr. Terawan mengaku bingung dengan laporan tentang pemecatannya dari keanggotaan IDI.

"Sampai detik ini saya tidak mendapatkan surat (pemecatan dari IDI) yang ditujukan ke saya," ungkap Terawan di gedung RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.

Menurutnya tuduhan melanggar etik tidak tepat karena bertolak belakang dengan kariernya di organisasi dokter militer dunia atau International Committee on Military Medicine (ICMM), yang menaungi 114 negara.

Selanjutnya, dr. Terawan akan diberikan kesempatan oleh IDI untuk membela dirinya di forum khusus profesi.

IDI juga mengatakan akan melakukan koordinasi dengan pihak terkait, terutama pimpinan TNI.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.