Penangkapan kapal buronan internasional di Aceh: 'kebetulan' atau keberhasilan Indonesia?

Penangkapan kapal buronan internasional di Aceh: 'kebetulan' atau keberhasilan Indonesia?
Kapal, STS Hak atas foto Interpol Image caption Kapal tanpa bendera STS-50 diduga menangkap ikan ilegal dan memalsukan dokumen kewargengaraan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan penindakan terhadap kapal tanpa bendera STS-50 di jarak 90km dari Pulau Weh Tenggara, provinsi Aceh, Jumat (06/04), berdasarkan hukum dan peraturan internasional.

"Sesuai dengan Ayat 73, UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB) negara kepulauan dapat menerapkan hak kedaulatannya di EEZ (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan mengambil tindakan, termasuk memasuki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses hukum, untuk memastikan kepatuhan kepada hukum dan peraturan sesuai dengan Konvensi," demikian pernyataan yang diterima BBC Indonesia.

STS-50 adalah kapal tanpa bendera yang sebelumnya sudah menggunakan bendera Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina dan Namibia.

Kapal dengan 30 awak -terdiri dari 20 WNI dengan 10 awak lain dan kaptennya warga Rusia- dicari-cari INTERPOL atas dugaan penangkapan ilegal Antarctic Toothfish (Dissostichus mawsoni) dan pemalsuan dokumen kewarganegaraan kapal untuk menghindari pengawasan dan penindakan.

Tindakan yang diambil Indonesia, selain berbagai aksi penindakan hukum laut lainnya, bisa dipandang 'kebetulan' mengingat luasnya wilayah Indonesia dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki dibandingkan beberapa negara lain.

"Mungkin bukan negara pertama, tetapi secara kebetulan memasuki wilayah perairan dekat dengan kita dan penegak hukum kita bisa menangkapnya. Karena kapal-kapal seperti ini sangat pandai sekali," kata Etty Agoes, Guru Besar Hukum Laut Internasional Universitas Padjajaran.

"Bahkan mereka mungkin bisa bersembunyi di wilayah perairan Indonesia, Indonesia kan luas sekali, tanpa bisa dikejar, dideteksi oleh kapal-kapal penegak hukum,"

Hak atas foto AFP/GETTY IMAGES Image caption Kapal nelayan asal Vietnam diledakkan di Kepulauan Anambas, Indonesia, pada tahun 2014.

Karena berbagai keterbatasan tersebut, Etty Agoes memandang adalah suatu prestasi bagi Indonesia dapat menindak kapal yang sudah lolos dari pengawasan berbagai negara lain, seperti Cina dan Mozambik

"Saya kira ini suatu indikasi bahwa kita itu memang serius dalam menangani IUU Fishing (penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, tidak diatur) karena IUU Fishing sangat merugikan tidak hanya Indonesia tetapi dunia juga terutama bagi sumber daya hayati.

Menteri KKP, Susi Pudjiastuti, memang sudah beberapa kali menindak kapal-kapal asing yang dipandang melanggar hukum, lewat penenggelaman maupun pembakaran kapal, misalnya.

Aksi ini dipuji sebagian pihak, tetapi sebagian lagi memandang pengaruh positifnya tidaklah terasa di kehidupan sehari-hari, seperti dituturkan oleh Rustan, seorang nelayan di Tarakan, Kalimantan Utara.

"Kalau kebijakan secara kolektif sih bagus. Cuma imbasnya ke kita tidak terasa. Apa sih yang kita rasakan dampaknya selama ini."

"Kami ini dalam kesusahan. Sudah ikannya mulai berkurang, kemudian alat tangkap kami tidak bisa menjelajah di wilayah yang jauh. Untuk mendapatkan bantuan harus melalui proses ini, proses itu. Persyaratannya harus buat koperasi. Buat ini, buat itu. Ujung-ujungnya yang dapat bantuan bukan nelayan," tambah Rustan yang sudah menjadi nelayan selama 30 tahun.

Rustan yang menggunakan gillnet dengan rentang ke bawah enam meter, panjang rentang satu km, serta luas mata 15cm untuk menangkap ikan-ikan perairan dasar seperti kakap, tenggiri, merah dan putih mengalami penurunan pemasukan kotor dalam 5-10 tahun terakhir dari Rp10 juta (100kg ikan) menjadi Rp5 juta (20-30kg) dalam sebulan.

Penegak hukum juga menemukan gillnet di kapal STS-50 yang dapat mencapai rentang seluas 30km untuk menangkap ikan seperti cakalang dan tuna, selain ikan Antarctic Toothfish.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.