Regulasi 'sudah ketat', mengapa miras oplosan terus saja memakan korban?

Regulasi 'sudah ketat', mengapa miras oplosan terus saja memakan korban?
miras oplosan Hak atas foto JULIA ALAZKA UNTUK BBC INDONESIA Image caption Setidaknya 100 orang yang mengkonsumsi miras oplosan masih dirawat di sejumlah rumah sakit di Cicalengka, Bandung, dan Sukabumi, Jawa Barat.

Hingga Selasa (10/04), korban minuman keras oplosan mencapai 45 orang dan dikhawatirkan bisa terus bertambah.

Menurut peneliti kebijakan publik hal itu disebabkan produk miras legal dengan standar baku terjamin tak terjangkau oleh konsumen di Indonesia, sementara di sisi lain ada sejumlah komunitas yang memiliki tradisi minum alkohol.

Penjualan minuman keras di Jawa Barat dan di seluruh daerah lain di Indonesia sebenarnya cukup ketat, namun mengapa masih banyak orang ingin mengkonsumsi miras buatan sendiri yang berisiko?

Korban akibat miras oplosan di Bandung terus bertambah: setidaknya 45 tewas Korban meninggal akibat miras oplosan di Yogyakarta mencapai 24 orang

Antropolog Iwan Meulia Pirous dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa konsumsi alkohol bagaimanapun adalah sebuah tradisi di Indonesia.

Berdasarkan studi antropologi, tuturnya, masyarakat agrikultur seperti Indonesia kerap mengkonsumsi alkohol yang berasal dari surplus pertanian seperti beras.

"Surplus itu di banyak kebudayaan tidak bisa habis dimakan atau dijual. Disimpan pun masih terlalu banyak. Akhirnya difermentasi untuk makanan, sebagian untuk minuman," terang Iwan Pirous.

"Nah jadi kebiasaan untuk minum di Nusantara itu berawal dari tradisi surplus yang sangat biasa di masa lalu. Tapi menjadi problem karena bertentangan dengan norma sesudahnya yaitu Islam."

Hak atas foto TIMUR MATAHARI/AFP/GETTY IMAGES Image caption Alkohol sulit dijangkau oleh konsumen lewat peraturan pemerintah yang ketat dan harga yang tinggi.'Regulasi terlalu ketat'

Ironisnya, ketatnya peraturan minuman keras justru mendorong orang-orang mengkonsumsi miras oplosan, seperti yang terungkap lewat penelitian Center for Indonesian Policy Studies pada 2016 lalu.

"Pilihannya pemerintah membebaskan penjualan alkohol resmi kemudian dikontrol dengan berbagai peraturan penjualan," kata peneliti CIPS, Sugianto Tandra.

Dijelaskannya yang dimaksudkan dengan membebaskan penjualan alkohol adalah dengan mencabut pelarangan alkohol di minimarket dan convenient store yang ditetapkan pemerintah pada 2015 lalu.

"Toh lebih mudah mengawasi toko-toko resmi daripada warung-warung tak berizin yang menjual bebas alkohol tidak resmi," kata Sugianto.

Rekomendasi ini diperkuat oleh data monitoring yang dilakukan CIPS dari tahun 2008 sampai 2018.

Selama 10 tahun, total korban tewas akibat miras oplosan mencapai 837 orang dengan sekitar 300 orang tewas selama tahun 2008 dan 2013, yang melonjak tajam sepanjang tahun 2014 hingga 2018 dengan jumlah korban mencapai lebih dari 500 orang.

"Kemungkinan ada hubungannya dengan pelarangan penjualan alkohol di minimarket," kata Sugianto.

Hak atas foto Agung Parameswara/Getty Images Image caption Sejak 2015, alkohol tidak boleh dijual di minimarket di seluruh Indonesia.'Harga terlalu mahal'

Faktor lainnya, menurut penelitian CIPS, adalah harga yang terlalu tinggi akibat pajak yang terlalu besar untuk minuman beralkohol.

Oleh karena itu Sugianto juga merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan penurunan pajak atas minuman beralkohol karena penelitian menunjukkan sejumlah pelanggan akan terus mencarinya.

"Asumsi dasarnya dengan membuat alkohol mahal, masyarakat akan semakin menjauhi. Tapi kenyataannya tidak seperti itu, orang tetap ingin minum," kata Sugianto.

Dan lagipula, seperti pendapat antropolog Iwan Pirous, tradisi meminum alkohol tidak akan bisa dikubur.

"Tidak mungkin. Kalau dia sudah menjadi kebutuhan hiburan orang akan tetap melakukannya," kata Iwan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.