Keteladanan Kyai Modjo Sang Panglima Perang Pangeran Dipenogoro
TONDANO - Makam Kyai Mojo terletak
di atas Bukit Tondata Kelurahan Wulauan Kecamatan Tondano Utara Kabupaten
Minahasa, dan menempati luas lahan 44.560 m². Pada pintu gerbang masuk menuju
makam ini terdapat tulisan: “Makam Pahlawan Kyai Mojo dkk.
Kyai Modjo juga dikenal sebagai
Tokoh Pendiri Kampung Jawa Tondano, yang saat ini dikenal dengan nama
Kelurahan Kampung Jawa berada di
Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Mianahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
Kyai Mojo yang terlahir dengan Nama
Kyai Muslim Muhammad Halifah Lahir tahun: 1764. Wafat 20 Desember 1849”. Di
lokasi makam ini terdapat dua buah cungkup berbentuk bangunan Jawa dengan atap
bersusun dari sirap.
Cungkup yang besar terdapat makam
Kyai Mojo beserta pengikutnya. Sedangkan cungkup lainnya merupakan cungkup
makam Syeh Maulana (asal Cirebon). Di timur laut makam Kyai Mojo terdapat makam
Mbah Kamil (Kyai Demak).
Makam Kyai Mojo beserta keluarga
asli dari Jawa memiliki keunikan tersendiri. Bentuk makamnya memiliki lubang
memanjang pada bagian tubuh makam. Hal ini berbeda dengan makam lain dari makam
kerabat yang merupakan keturunan Minahasa yang tidak memiliki lubang memanjang.
Hal ini dibuat agar dapat diketahui
perbedaan keluarga dari Jawa dan yang lahir dan besar di Minahasa. Makam Kyai
Mojo adalah satu-satunya makam di kompleks ini yang kijingnya memiliki undakan
sembilan tingkat. Makam ini diberi hiasan pelipit genta dan kaligrafi. Di dalam
cungkup Makam Kyai Mojo juga terdapat makam beberapa orang keluarga dan
pengikutnya. Nisannya ditutup dengan kain penutup berwarna putih.
Kyai Muslim Muhamad Halifah atau yang dikenal
dengan Kyai Mojo (1764-1849) merupakan salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).
Meskipun hubungan mereka berdua
dekat, pada tahun 1828 terjadi konfllik di antara mereka. Pada waktu itu,
Pangeran Diponegoro memerintahkan Kyai Mojo untuk kembali ke Pajang. Dalam
perjalanannya ke Pajang, Kyai Mojo kemudian terbujuk oleh rayuan muridnya Kyai
Dadapan agar mau bertemu perwakilan Belanda, Letnan Kolonel Wironegoro.
Padahal sebelumnya Pangeran
Diponegoro bersama para panglimanya termasuk Kyai Mojo telah menolak ajakan
Jenderal de Kock untuk mengakhiri perang.Kyai Mojo kemudian bertemu dengan
Letnan Kolonel Wironegoro pada Oktober 1828 dengan mengajukan beberapa
permintaan. Letnan Kolonel Wironegoro pun menyetujuinya asalkan Kyai Mojo
bersedia menghentikan perang.
Kyai Mojo melaporkan pertemuan itu
kepada Pangeran Diponegoro melalui surat. Setelah membaca surat dari Kyai Mojo,
Pangeran Diponegoro marah. Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Mojo kembali ke
markas Pangeran di daerah Pengasih.
Akhir tahun 1828, Kyai Mojo beserta pasukannya
berhasil ditangkap Belanda. Tertangkapnya Kyai Mojo merupakan pukulan telak
bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Kyai Mojo bersama dengan pasukannya
pertama kali ditahan di Semarang, selanjutnya dipindahkan ke Ambon lalu ke
Minahasa.
Kyai Mojo meninggal dalam
pengasingan di Minahasa pada tanggal 20 Desember 1849 dan dimakamkan di
Tondano.Pada tahun 1978/1979 hingga 1981/1982 Makam Kyai Mojo telah dipugar
oleh Bidang Sejarah, Museum, dan Purbakala (Muskala) Kantor Wilayah Pendidikan
dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara. Situs Cagar Budaya Makam Kyai Mojo
dalam kondisi terawat.
Kyai Modjo merupakan seorang ulama yang
menjadi panglima perang dan berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Beliau
menentang keras pihak kolonial Belanda yang melancarkan gerakan permutadan di
kalangan bangsawan Jawa.
(Thayeb)
Post a Comment