Setya Novanto ajukan status 'justice collaborator' namun 'bukan hak terdakwa'

Setya Novanto ajukan status 'justice collaborator' namun 'bukan hak terdakwa'
Setya Novanto Hak atas foto AFP

Mantan ketua DPR RI, Setya Novanto, menyerahkan pada penegak hukum keputusan atas pengajuan status justice collaborator bagi dirinya dalam kasus dugaan korupsi KTP Elektronik.

Tiga saksi pejabat negara dan mantan menteri dalam negeri Gamawan Fauzi hadir sebagai saksi sidang kasus dugaan korupsi KTP elektronik dengan terdakwa Setya Novanto.

Sidang ini digelar ditengah upaya pengajuan pengacara mantan ketua DPR itu untuk mendapatkan status justice collaborator atau membantu penegak hukum untuk membongkar kasus.

Hakim tolak keberatan Setya Novanto, sidang dilanjutkan pekan depan Andi Narogong dihukum delapan tahun, hakim menyebut Setya Novanto Penunjukan pengganti Ketua DPR: Manuver baru Setya Novanto yang 'tabrak aturan'

Di sela sidang pada Senin (29/01), Setya Novanto mengungkapkan harapan agar penegak hukum memberikan 'kebijaksanaan' atas permohonan tersebut.

"Kita lihat perkembangannya nanti, ya sepenuhnya saya percayakan pada hakim dan JPU mempunyai pertimbangan-pertimbangan, tentu saya sangat mengharapkan kebijaksanaan," ungkap Setya.

Sementara KPK belum memutuskan pengajuan permohonan dari Setya Novanto tersebut. Kepada media, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK menyebut belum melihat keseriusan mantan ketua DPR itu untuk menjadi justice collaborator dalam kasus KTP Elektronik.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah megatakan selama persidangan Setya belum mengakui dirinya terlibat dan menerima sejumlah fasilitas dalam kasus dugaan korupsi KTP Elekronik.

"Sejauh ini kita belum melihat hal itu," jelas Febri pada wartawan (24/01).

Febri menjelaskan ada tiga syarat untuk menjadijustice collaborator yaitu; membongkar atau mengungkapkan sesuatu yang lebih besar, konsisten dengan keterangan, dan niat untuk menjadi justice collaborator, serta mengakui perbuatannya.

Namun, Kepala Pusat Studi Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, menyebutkanjustice collaborator bukan merupakan hak terdakwa tetapi berdasarkan pertimbangan penegak hukum jika dibutuhkan untuk lebih mengungkapkan sebuah kasus.

"Itu bukan hak terdakwa, seolah-olah ada pengacara yang mengatakan merupakan hak, tapi bukan, Kalau menurut penegak hukum itu melihat kasus ini demikian rumit kesulitan, tapi harus dijaga penegak hukum hrs profesional hanya dalam hal memnaag tak ada cara lain lah maka ada Justice Collaborator," jelas Yenti.

Selain itu, syarat pemberian status justice collaborator juga bukan untuk seseorang yang diduga memiliki peran utama dalam suatu kasus, jelas Yenti.

"Ada dua hal satu bahwa rambu-rambu ada aturan-aturannya, syaratnya harus coorporation (kerjasama) dan kemudian dia tak boleh pelaku utama, dengan tak boleh pelaku utama tentu harapannya dia akan mengungkap pelaku yang kualitas peranannya lebih besar," jelas Yenti.

Dia mengatakan pemberian status justice collaborator lebih tepat untuk pelaku yang kualitas keterlibatannya bukan utama atau tidak terlalu signifikan namun dapat memberikan kontribusi dengan membuka dan membantu penegak hukum mendapatkan pelaku utama yang lebih besar dibanding dia sebagai JC.

Meski demikian menurut Yenti, meski seseorang telah memenuhi syarat tersebut belum tentu akan diberikan status justice collaborator.

"Kalau penegak hukum tidak membutuhkan dan bisa sendiri mengungkapkan kasusnya, ya tidak harus karena pemberian status justice collaborator memiliki konsekuensi pada keringanan hukuman," kata Yenti.

Ada apa di balik pengunduran dua pengacara Setya Novanto? Para dokter Setya Novanto diperiksa, pengacara tuding IDI 'bertindak politis'

Dia mengatakan KPK harus berhati-hati sebelum memberikan status justice collaborator terhadap seorang terdakwa kasus korupsi.

"Biasanya dia kan tutup mulut, jadi dia bisa buka ini ini dan dengan bukti yang akurat tidak boleh asal-asalan juga. Penegak hukum juga harus benar-benar menilai dia punya bukti, mau nggak kerja sama beneran, jangan sampai diakalin, namanya juga menghadapi orang yang terlibat kriminal kita harus hati-hati, jangan sampai terjebak " ungkap Yenti.

Dia mengingatkan pemberian status justice collaborator pada pelaku utama akan berdampak negatif bagi penegakkan hukum.

"Berbahayanya begini, kalau justice collaborator sampai diterapkan pada pelaku utama maka bahayanya pada pencegahan kemudian. Orang yang punya ide untuk melakukan korupsi bukan tercegah dengan penegakkan hukum yang ada pada saat ini tapi mereka lebih berani."

"Artinya mereka berpikir ya tidak apa-apa kan ide dulu nanti saya bisa JC dan saya akan diberikan keringanan, ini untuk pencegahan dan ini buruk," jelas Yenti yang juga pakar hukum pencucian uang.

Hak atas foto AFP/Getty Images Image caption Setya Novanto ketika mengikuti sidang kasus dugaan korupsi KTP Elektronik.

Lalu bagaimana dengan Setya Novanto apakah layak mendapatkan status justice collaborator?

Yenti mengatakan seharusnya sudah ada gambaran apakah ada yang memilik peranan lebih besar dibandingkan Setya Novanto.

"Ini KPK harus hati-hati, sejak dakwaan pertama kali seharusnya sudah memberikan gambaran konstruksi kasus, aliran dananya ke 37 orang atau lebih. KPK harus jeli dan KPK harusnya sudah memberikan sebuah gambaran, dari maping yang saya rasa itu terlalu lama, harusnya cepat nanti keburu saksi dan bukti jadi sulit," kata Yenti.

Setya Novanto didakwa secara bersama-sama melakukan pebuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp2,3 trilliun dalam proyek pengadaan KTP Elektronik pada tahun anggaran 2011-2013. Dia dianggap memiliki pengaruh untuk meloloskan jumlah anggaran KTP Elektronik ketika dibahas diKomisi II DPR RI pada 2011-2012.

KPK pernah beberapa kali memberikan statusjustice collaborator kepada terdakwa kasus korupsi, mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 lalu. Agus divonis bersalah namun mendapat pembebasan bersyarat.

Selain itu terdakwa kasus dugaan korupsi yang mendapat status justice collaborator adalah mantan anggota DPR dari partai Demokrat Nazarudin dan mantan anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti.

Nazarudin kemudian mengungkap sejumlah nama dalam kasus korupsi pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Jawa Barat, antara lain anggota DPR, Angelina Sondakh, dan mantan Ketua Partai Demokrat, Anas Urbainingrum.

Dalam kasus korupsi kasus pelabaran jalan di Maluku, Damayanti dijatuhi hukuman penjara selama 4,5 tahun dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurunga. Vonis hakim itu lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yaitu hukuman penjara enam tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.